Selasa, 05 April 2011

Tari gandrung

Tari Gandrung Banyuwangi berasal dari kata "gandrung", yang berarti 'tergila-gila' atau 'cinta habis-habisan' dalam bahasa jawa. Kesenian ini masih satu genre dengan seperti ketuk tilu di Jawa Barat, tayub di Jawa Tengah dan Jawa Timur bagian barat, lengger di wilayah Banyumas dan joged bumbung di Bali, dengan melibatkan seorang wanita penari profesional yang menari bersama-sama tamu (terutama pria) dengan iringan musik(gamelan).


Bentuk kesenian yang didominasi tarian dengan orkestrasi khas ini populer di wilayah Banyuwangi yang terletak di ujung timur Pulau Jawa, dan telah menjadi ciri khas dari wilayah tersebut, hingga tak salah jika Banyuwangi selalu diidentikkan dengan gandrung. Kenyataannya, Banyuwangi sering dijuluki Kota Gandrung dan patung penari gandrung dapat dijumpai di berbagai sudut wilayah Banyuwangi.

Gandrung sering dipentaskan pada berbagai acara, seperti perkawinan, pethik laut, khitanan, tujuh belasan dan acara-acara resmi maupun tak resmi lainnya baik di Banyuwangi maupun wilayah lainnya. Menurut kebiasaan, pertunjukan lengkapnya dimulai sejak sekitar pukul 21.00 dan berakhir hingga menjelang subuh (sekitar pukul 04.00).

Sejarah

Menurut catatan sejarah, gandrung pertama kalinya ditarikan oleh para lelaki yang didandani seperti perempuan dan, menurut laporan Scholte (1927), instrumen utama yang mengiringi tarian gandrung lanang ini adalah kendang. Pada saat itu, biola telah digunakan. Namun demikian, gandrung laki-laki ini lambat laun lenyap dari Banyuwangi sekitar tahun 1890an, yang diduga karena ajaran Islam melarang segala bentuk transvestisme atau berdandan seperti perempuan. Namun, tari gandrung laki-laki baru benar-benar lenyap pada tahun 1914, setelah kematian penari terakhirnya, yakni Marsan.

Gandrung wanita pertama yang dikenal dalam sejarah adalah gandrung Semi, seorang anak kecil yang waktu itu masih berusia sepuluh tahun pada tahun 1895. Menurut cerita yang dipercaya, waktu itu Semi menderita penyakit yang cukup parah. Segala cara sudah dilakukan hingga ke dukun, namun Semi tak juga kunjung sembuh. Sehingga ibu Semi (Mak Midhah) bernazar seperti “Kadhung sira waras, sun dhadekaken Seblang, kadhung sing yo sing” (Bila kamu sembuh, saya jadikan kamu Seblang, kalau tidak ya tidak jadi). Ternyata, akhirnya Semi sembuh dan dijadikan seblang sekaligus memulai babak baru dengan ditarikannya gandrung oleh wanita.

Tradisi gandrung yang dilakukan Semi ini kemudian diikuti oleh adik-adik perempuannya dengan menggunakan nama depan Gandrung sebagai nama panggungnya. Kesenian ini kemudian terus berkembang di seantero Banyuwangi dan menjadi ikon khas setempat. Pada mulanya gandrung hanya boleh ditarikan oleh para keturunan penari gandrung sebelumnya, namun sejak tahun 1970-an mulai banyak gadis-gadis muda yang bukan keturunan gandrung yang mempelajari tarian ini dan menjadikannya sebagai sumber mata pencaharian di samping mempertahankan eksistensinya yang makin terdesak sejak akhir abad ke-20.

Tata busana penari Gandrung Banyuwangi khas, dan berbeda dengan tarian bagian Jawa lain. Ada pengaruh Bali (Kerajaan Blambangan) yang tampak.


Tari Gandrung Berkembang di Lombok dan Bali

Denpasar (ANTARA News) - Tari gandrung, sebuah tari pergaulan yang hidup dan berkembang di Banyuwangi, Jawa Timur hingga sekarang, sebenarnya juga terdapat dan berkembang di Lombok dan Bali.

"Di Bali, tari gandrung itu kini lebih dikenal dengan tari `joged muani`, yang juga mengemban misi sebagai tari pergaulan yang cukup digandrungi anak-anak muda," kata Kadek Suartaya SKar, MSi, dosen Program Studi Seni Karawitan Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, kemarin.

Ia mengatakan, tari pergaulan di Banyuwangi, Bali dan Sasak, Lombok itu memiliki kekhasan dan keunikannya masing-masing.

Di Banyuwangi tari gandrung hingga kini masih menunjukkan plah tingkah penari yang bernuansa kemesraan, sedangkan di Lombok berlenggang-lenggok riang. Untuk di Bali, selain menarinya begitu atraktif, juga bergoyang pantat dengan sorot mata "menantang".

Namun demikian, kata dia, di Bali kini tidak banyak lagi ditemukan seni `joged` yang penarinya adalah kaum lelaki itu.

Suartaya yang sering memperkuat tim kesenian Bali untuk mengadakan pentas ke mancanegara menambahkan, seni pertunjukan sejenis gandrung sesungguhnya juga banyak dijumpai di sejumlah daerah di Nusantara.

"Kesenian itu masih satu `genre` dengan ketuktilu di Jawa Barat, tayub di Jawa Tengah dan Jawa Timur bagian barat, lengger di wilayah Banyumas dan joged bumbung di Bali," ucapnya.

Bila gandrung dibawakan oleh lelaki, joged bumbung di Bali tampil dengan penari wanita yang kemudian berjoget berpasangan dengan penari pria yang muncul dari kalangan penonton pertunjukan.

"Jadi, seorang wanita penari profesional, menari bersama-sama tamu (terutama pria) dengan iringan musik gamelan `gerantang` yang terbuat dari bilah bambu," tutur Suartaya.

Penampilannya senantiasa disertai unsur-unsur erotisme seperti juga dalam tari ronggeng di Jawa Barat.

Pada masa lalu, penari gandrung memang banyak mengundang debar asmara kaum pria, padahal para penari gandrung itu sendiri adalah laki-laki.

Di Banyuwangi kesenian gandrung pada awalnya dilakoni oleh kaum pria, setidaknya hingga tahun 1890-an. Baru pada tahun 1914 penari wanita dihadirkan setelah kematian penari pria terakhir, Marsam.

Penari gandrung wanita pertama Banyuwangi bernama Semi, seorang gadis kecil yang sakit-sakitan, yang kemudian berkaul, jika sembuh akan menjadi penari gandrung.

Berbeda dengan di Banyuwangi, di Bali hingga kini tari gandrung masih dibawakan penari laki-laki. Salah satu grup seni pertunjukan gandrung yang masih bertahan adalah Sekaa Gandrung Banjar Ketapian Kelod, Denpasar, yang masih mempertahankan penari pria.

Kesenian gandrung yang disakralkan oleh komunitasnya itu lebih menampilkan diri sebagai presentasi estetik. Melalui iringan musik bambu yang disebut gerantang, gandrung Bali menyuguhkan raga keindahan tari yang lazim dijumpai dalam tari klasik legong keraton.

Suartaya menambahkan, seperti halnya di Banyuwangi, diduga kuat tari gandrung di Lombok pada awalnya juga dibawakan oleh kaum pria.

Gandrung Lombok yang kini lazim dibawakan kaum wanita itu masih eksis sebagai sajian yang menampakkan karakter tari Bali dan Banyuwangi.

Nuansa Bali tampak kental pada tata tarinya yang sebagaian besar memakai perbendaharaan gerak tari tradisional Bali. Unsur Banyuwangi dihadirkan dalam balutan busana, khususnya pada gelungan atau tutup kepala penarinya.

Struktur penyajian gandrung Lombok adalah bapangan, tangis, penepekan, dan pengibingan. Pada bagian pengibingan, penonton pria masuk ke arena pentas berpasangan dengan sang penari.

Urut-urutan penampilan gandrung Lombok tersebut hampir sama dengan tari joged bumbung di Bali, di mana bagian terakhir, pengibingan, yang paling ditunggu-tunggu partisipan pria dan penonton pada umumnya, ujar Kadek Suartaya.


Hendaknya kita sebagai generasi penerus memiliki kepedulian terhadap kesenian tradisional, agar mampu diwariskan kepada anak cucu kita. Agar kekayaan Indonesia tidak terhapus oleh jaman. Kita semua memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk melestarikan kebudayaan dan kekayaan alam Indonesia.


sumber :
http://legendaraya.blogspot.com/2011/03/mengenal-tari-gandrung-bayuwangi.html
http://www.antaratv.com/print/1297809429/tari-gandrung-berkembang-di-lombok-dan-bali
http://dym2aelah.files.wordpress.com/2010/10/3447012721_0c294df5a0_o.jpg

0 komentar:

Posting Komentar